Kesengajaankah Ini? Ada Apa Dengan Pasal 81 UU Kepabeanan?

Kesengajaankah Ini? Ada Apa Dengan Pasal 81 UU Kepabeanan?

Pemeriksaan Pabean pada barang impor maupun barang ekspor yang tertuang dalam pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yaitu penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik. Dalam hal pengawasan pemeriksaan fisik juga terkait pemeriksaan sarana pengangkut untuk pemenuhan kewajiban pabean. Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya.

Pemeriksaan dokumen barang impor bertujuan untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean yang diajukan dan pemeriksaan atas fisik barang. Dalam rangka memperlancar arus barang, pemeriksaan barang dilakukan secara selektif dan hanya dilakukan terhadap importasi yang beresiko tinggi. yaitu barang yang bea masuknya tinggi, barang berharga bagi negara dan masyarakat, serta Impor yang dilakukan oleh importir yang mempunyai catatan kurang baik.

“Pemeriksaan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata periksa/memeriksa dan dikelompokkan dengan makna sebagai berikut:

1. Melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan (baik tidaknya, salah benarnya, dan sebagainya);

2. Menyelidiki untuk mengetahui sesuatu (untuk mempelajari, mencari pengetahuan, dan sebagainya); menelaah (suatu hal, peristiwa, dan sebagainya);

3. Menanyai orang untuk mengetahui salah tidaknya dan sebagainya; mengusut (perkara); mempertimbangkan dan mengadili (perkara).

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 38/BC/1997 pasal 11, diatur bahwa untuk keperluan pemeriksaan barang di atas sarana pengangkut, pengangkut atau kuasanya wajib:

a. menunjukkan bagian-bagian/tempat-tempat dimana disimpan barang;

b. menyerahkan barang dan membuka peti kemas/kemasan barang; dan

c. menyaksikan pemeriksaan.

Proses pemeriksaan fisik oleh pihak Bea Cukai sangat berkaitan erat dengan biaya yang bertujuan agar terciptanya tujuan pemeriksaan yang efisien dan efektif, alasannya karena tempat pemeriksaan yang jauh, kadang berada ditengah laut, atau bahkan medan-medan yang berat, atau karena hal lain. Guna pemeriksaan tersebut untuk mencegah pelanggaran atau demi kelancaran arus barang sehingga dibutuhkan biaya transportasi dan akomodasi pada saat proses penegahan atau penghentian sarana pengangkut.

Sesuai pasal 34 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP - 08/BC/1997, diatur bahwa:

Ayat (1): Dalam hal ditemukan adanya pelanggaran, segala resiko dan biaya yang timbul akibat penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan menjadi beban dan tanggung jawab pengangkut dan/atau pemilik barang atau kuasanya .

Ayat (2): Dalam hal tidak ditemukan adanya pelanggaran, segala resiko dan biaya yang timbul akibat penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan menjadi beban dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Ayat (3): Dalam hal tidak ditemukan adanya pelanggaran tetapi pengangkut atau pemilik barang dan/atau sarana pengangkut tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai atau kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (2), segala resiko dan biaya yang timbul akibat penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan menjadi beban dan tanggung jawab pengangkut dan/atau pemilik barang atau kuasanya.

Kita ketahui bersama bahwa hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dengan disertai sanksi tertentu bagi para pelaku, tetapi harus terpenuhi dulu syarat-syarat deliknya dan sanksi yang diterapkan. Terpenuhi sanksi salah satu syaratnya adalah kesengajaan maupun karena kealpaan. Yang dimaksud dengan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang diperbuat atau dilakukan. Undang-undang tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan, namun dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat tulisan ini dibuat dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026, terdapat istilah “dengan rencana lebih dahulu”.

Sengaja penulis menghantarkan paraturan-peraturan yang tingkatnya dibawa dari Undang-Undang 10 tahun 1995 tentang kepabeanan ketika memulai tulisan ini agar kita bisa memahami bersama apabila terjadi persoalan kesalahan penulisan dalam Undang-Undang merupakan hal yang biasa tetapi tidak merubah makna dari hal yang ditulis tetapi sedapat mungkin tidak boleh terjadi salah penulisan dalam penulisan Undang-Undang untuk menghindari potensi salah tafsir.

Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori adalah Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi mengalahkan Undang-Undang yang kedudukannya lebih rendah.  Apabila ada Undang-undang yang lebih tinggi bertentangan dengan aturan yang dibawahnya hakim akan selalu berpedoman dengan undang-undangan lebih tinggi itu, dan apabila salah penafsiran, norma hukum yang kabur dalam Undang-Undang itu yang dipedomani hakim yaitu interprestasi.

Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Pasal 81 ayat 3 berbunyi “Pengangkut atau pengusaha yang memberikan bantuan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).” Penulis memahami bahwa pengangkut atau pengusaha tidak boleh memberikan bantuan kepada pejabat bea dan cukai, walaupun terkesan ambigu dengan pasal yang sama ayat 1 dan 2 berbunyi:

(1) Di atas sarana pengangkut atau di tempat lain yang berisi barang di bawah pengawasan pabean dapat ditempat Pejabat Bea dan Cukai.

(2) Apabila di sarana pengangkut atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia akomodasi, pengangkut atau pengusaha yang bersangkutan wajib memberikan bantuan yang layak.

Di sisi lain, penulisan dibidang hukum, sesuai ketentuan, sifatnya mengikat dan seharusnya tertulis dalam kalimat dengan tata bahasa yang jelas, logis, dan efektif.

Untuk jelasnya dalam keadaan ini apabila terjadi kesengajaan sifatnya dapat melawan hukum dan unsur deliknya terpenuhi sebagai unsur-unsur pelanggaran. Apabila tidak terjadi kesengajaan perlu perdebatan yang serius, merubah segala peraturan yang dibawahnya sehingga tujuan negara yang ingin dicapai dalam membuat suatu produk hukum yaitu rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat selalu terakomodir dalam setiap hukum yang diciptakan. Dan juga harus menghapus sifat melawan hukum atas perbuatannya dan tidak boleh dijatuhkan sanksi atas pelanggarannya, atau mungkin juga pada saat pembuatan undang-undang ini dibumbui sedikit politik hukum agar tujuan Negara dalam Pemberantasan Korupsi terpenuhi, akupun tak tahu…..!!!!!!!!!!

Artikel Terkait: