Ultimum Remedium

Ultimum Remedium

Baru-baru ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diperkenalkan dengan istilah baru dalam penanganan Hukum Pidana Cukai yaitu berupa perubahan sanksi pidana atas pelanggaran pada Undang-Undang Cukai, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 Bab VII pasal 64. Dengan perubahan Undang-Undang tersebut diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.04/2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2023 yang dipandang perlu atas perhitungan untung dan rugi dalam menerapkan sanksi hukum, bahwa penjatuhan hukuman penjara badan tidaklah selalu diutamakan melainkan merupakan upaya terakhir (Ultimum remedium). Pasti menimbulkan berbagai pertanyaan. Kenapa istilah itu dikaitkan dengan Undang-Undang Cukai, dan bagaimana istilah ini bisa mendongkrak Undang-Undang fiskal yang selama ini berada dipundak kita? Mari kita ulas untuk menambah sedikit pengetahuan kita terkait istilah Ultimum remedium tersebut.

Ultimum Remedium atau biasa disingkat (UR) merupakan salah satu asas hukum pidana di Indonesia, yang mengatakan hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atas asas itu terdapat suatu alternatif untuk upaya terakhir yaitu penyelesaian lain selain menerapkan suatu aturan hukum pidana. Berbicara tentang hukum berarti berbicara tentang norma. Indonesia adalah negara hukum yang berisi norma-norma kelaziman dan kepantasan. Tugas DJBC salah satunya adalah meningkatkan penerimaan negara dengan cara harus memperkuat perekonomian dalam segala bidang termasuk bidang Cukai demi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yaitu meningkatkan kesejahteraan sosial. Untuk mencapai tujuan hukum yang berkeadilan dan bermanfaat diperlukan asas-asas hukum. Dalam pembahasan ini saya mengambil dua asas sebagai pertimbangan untuk melengkapi tulisan ini. Asas pertama mensyaratkan adanya keseimbangan, tata cara dan tujuan; dan asas yang kedua menuntut bahwa jika ada persoalan yang sulit memunculkan beberapa alternatif pemecahan, harus dipilih pemecahan yang paling sedikit menimbulkan kerugian.

Pandangan hukum modern, yang baik dan beretika lebih mengutamakan cost and benefit dari pada penjeraan semata, berbeda dengan pandangan hukum klasik. Dalam konteks pendekatan ekonomi hukum pidana (Undang- Undang Cukai) seharusnya mengutamakan dampak penerimaan negara dari pada hukuman keberhasilan penjeraan dalam bentuk pidana penjara. Akan tetapi alternatif pidana terhadap upaya terakhir Ultimum Remedium, ini tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan penentuan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum dan menjadi upaya penyembuhan dan jangan sampai membuat penyakitnya bertambah parah. Dalam Bahasa ekonomi, pendapat Modderman dapat dikatakan bahwa hukum pidana berikut sanksinya seharusnya difungsikan sebagai sarana hukum secara efisien dan efektif (Kutipan H.L.A Hart, punishment and Responsibility). Pada dasarnya terhadap setiap ancaman hukuman itu pasti terdapat keberatan-keberatan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan penentuan tentang seseorang dapat dihukum.

Ada beberapa alasan kenapa dalam suatu tindak pidana ekonomi dapat diselesaikan dengan upaya terakhir (Ultimum remedium)?

  1. Penjeraan dalam bentuk pidana penjara, tidak selalu dapat menciptakan kehidupan tujuan hukum yang sebenarnya yaitu berkeadilan dan bermanfaat terhadap masyarakat maupun tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Sebaliknya justru telah terjadi kepadatan penghuni Lembaga permasyarakatan (LAPAS) yang melampaui batas daya tampung dan telah mengakibatkan demoralisasi seksual dan keamanan bahkan telah terjadi peningkatan tindak pidana sehingga sering disebut “penjara adalah sekolah tinggi kejahatan”.
  2. Terjadinya pemborosan biaya negara untuk penegakan hukum, baik dari aspek kelembagaan maupun aspek pembiayaan perkara pidana.
  3. Hukuman bukanlah sanksi istimewa, melainkan adalah sanksi biasa, untuk itu hukuman sendiri didasari faktor-faktor non teknis yaitu tidak beralasan, tidak efektif, tidak menguntungkan dan tidak diperlukan sehingga hukuman itu akan menghasilkan kejahatan yang lebih besar dari apa yang seharusnya dicegah.

Kita mengambil salah satu contoh pengguna narkoba “ketika seseorang menggunakan obat-obatan terlarang atau narkoba. orang tersebut dapat meminta dirinya untuk direhabilitasi dan tidak dikenai pasal pidana penggunaan obat-obatan terlarang, selagi orang tersebut adalah kapasitasnya hanya sebagai pengguna yang dapat dikategorikan sebagai korban namun tentu dengan berbagai pertimbangan dan beberapa prosedur yang berlaku”. Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks Ultimum Remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Artinya, pemberian sanksi diutamakan dengan pemberian sanksi administratif atau sanksi perdata. apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka pemberian sanksi pidana baru dapat dipertimbangkan sebagai senjata terakhir atau Ultimum Remedium.

Awal tahun 2023 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menerapkan langkah baru terhadap kebijakan sanksi tindak pidana cukai dengan sistem Ultimum remedium. Hal tersebut dilakukan demi kepentingan penerimaan negara dan salah satunya untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia meningkatkan kesejahteraan sosial. Sampai dengan akhir tahun 2023 penerimaan negara terhadap penanganan sanksi Ultimum remedium pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp. 59, 9 M.

Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah mengalami banyak perubahan karena perkembangan peradaban manusia dan kegiatan ekonomi yang bergerak begitu cepat. Arus permasalahan pelaksanaan kegiatan ekonomi inilah kemudian mendorong lahirnya berbagai kebijakan penanggulangan pelanggaran ekonomi yang tidak hanya cukup dengan dimensi etika saja, melainkan juga bahkan kebijakan berdimensi hukum salah satunya adalah Ultimum remedium.

Bajoe, 19 Februari 2024

Artikel Terkait: