Ngaku Salah Malah Susah?

Ngaku Salah Malah Susah?

Kita semua pernah melakukan kesalahan. Bisa jadi justru berkali-kali. Normalnya tidak ada orang yang gembira kalo bikin salah. Melakukan kesalahan merupakan pengalaman emosional yang menyakitkan. Para psikolog berpendapat bahwa meskipun sulit, belajar mengakui kesalahan sangat penting untuk pengembangan pribadi dan mempertahankan relasi.

Respon terhadap kesalahan

Menurut Guy Winch (2018) ada tiga tipe manusia dalam menyikapi kesalahan yang telah diperbuat. Tipe pertama mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Tipe kedua menyiratkan bahwa dirinya bersalah, tapi tidak secara eksplisit mengatakannya. Contoh kalimat, ”Tadi pagi saya sebenarnya sudah bersiap ikut apel di kantor, Pak. Tapi pas mau berangkat, nyari kunci motor, ehh…gak ketemu. Janji deh Pak, besok lagi akan saya siapkan semuanya sebelum tidur malam.”

Kedua tipe di atas tak asing bagi kita karena merupakan respon umum terhadap kesalahan. Kita menerima tanggungjawab secara penuh, atau sebagian, atau paling parah ya sebagian kecil. Tapi yang pasti, kita tidak menyangkal fakta sebenarnya.

Tipe ketiga adalah seseorang yang menolak mengakui dirinya bersalah, bahkan ketika dihadapkan dengan banyak bukti. Seandainya tidak bisa mengelak dari bukti, dia akan menolak fakta yang ada.

Beberapa orang memiliki ego yang rapuh, harga diri yang rendah, “konstitusi psikologis” yang lemah, sehingga mengakui dirinya bersalah akan mengancam egonya. Mekanisme pertahanan diri akan dilakukannya untuk menyelamatkan ego. Mereka benar-benar memutarbalikkan persepsi tentang realitas, agar tidak lagi merasa bersalah.

Menolak mengakui kesalahan

Clifford N Lazarus (2020), pendiri Lazarus Institute, merinci penyebab orang menolak mengaku telah bersalah. Berikut beberapa di antaranya:

1. Disonansi kognitif

Adalah ketidaknyamanan mental yang dialami seseorang karena menganut dua atau lebih keyakinan/gagasan/nilai yang bertentangan. Cara mengurangi disonansi adalah dengan membuang salah satu keyakinan, atau mengubah perilaku agar konsisten dengan satu keyakinan saja. Hal ini bertujuan memulihkan keseimbangan mental dan emosional yang disebut keselarasan kognitif. Sayangnya yang biasa terjadi adalah, ketika terjadi benturan ide dan informasi, orang justru memilih bersikap maladaptif, daripada berusaha konsisten dengan sikap adaptif.

2. Bias konfirmasi

Adalah kecenderungan menafsirkan informasi baru sebagai konfirmasi atas keyakinan yang sudah dimiliki seseorang. Misal, setiap hari Mbak Ayu menunggu di gerbang komplek untuk ikut nebeng siapapun yang berangkat ke kantor. Kebetulan tiap pagi yang dijumpai adalah Bang Ganteng. Maka pergilah mereka bersama. Suatu ketika Bang Ganteng tidak menemukan Mbak Ayu di tempat biasa. Didapat info, ternyata beberapa hari terakhir, si Mbak sudah berangkat duluan bersama Mas Hakim.

Bang Ganteng, dengan egonya yang rapuh, menafsirkan peristiwa tersebut sebagai konfirmasi bahwa dia telah dicampakkan, tidak dihargai lagi. Fenomena psikologis seperti ini adalah akar dari sebagian besar stereotip dan rasisme.

3. Efek Dunning-Kruger

Adalah bias kognitif dimana orang dengan kemampuan rendah yang terlalu melebih-lebihkan kompetensinya. Ini merupakan jenis superioritas ilusional ketika orang menganggap dirinya memiliki kemampuan lebih tinggi daripada kinerja riilnya. Mereka dengan teguh tidak akan mengakui keterbatasannya, dan enggan menambah pengetahuan lebih lanjut. Motto andalan: Belajar hanya untuk orang-orang bodoh.    

4. Narsisisme patologis

Adalah pola pikir kebesaran (grandiosity) yang sudah meresap, kebutuhan untuk terus menerus dikagumi, tak ada empati, dan kecenderungan menipu untuk memanipulasi orang lain, demi keuntungan pribadi. Seorang narsisis patologis kesulitan menangani apapun yang dianggap kritik, tidak pernah bertanggungjawab atas tindakan mereka yang salah, dan selalu menyalahkan orang lain atas kesalahan mereka.

5. Sindrom Stockholm

Istilah ini diciptakan tahun 1973. Saat itu ada 4 orang sandera pada sebuah perampokan bank yang gagal di Stockholm, Swedia. Setelah dibebaskan, para sandera dengan teguh membela para penculiknya dan menolak bersaksi melawan mereka di pengadilan. Ini fenomena psikologis yang menarik, karena korban mengembangkan perasaan percaya dan afeksi atas kejahatan penculiknya. Istilah populernya cuci otak. Persamaan antara Sindrom Stockholm, aliran sesat, dan kelompok radikal sangat jelas. Secara teoritis dapat terjadi di tingkat apapun. Jadi bersikap konsisten, atau teguh pada pendirian, hanya akan bernilai positif ketika dipakai dalam kebaikan.

Penutup

Mengakui bahwa kita bersalah adalah hal yang melukai ego. Dibutuhkan kestabilan emosi dan keberanian mental untuk menghadapi dampak pengakuan kesalahan tersebut. Tidak bisa tidak, untuk berkembang menjadi pribadi yang unggul, anda harus berlatih mulai dari sekarang.

-

Agustine Dwiputri, Psikologi, kompas.id 02092023

Artikel Terkait: